Senin, 25 April 2011

kisah imajinatif, izinkan aku istirahat sejenak

deeply-deep.blogspot.com
Sungguh kehidupan ini terkadang membuat kita terus berlari-berlari tanpa jeda.
Usia 3 tahun orang tua sudah mencari-cari tempat bermain untuk anak-anaknya.
Sekarang dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Setelah itu masuk ke
TK A-B. Selang 2-3 tahun kemudian, orang tua sudah mulai mencari-cari sekolah
terbaik buat buah hatinya.


Gong perlarian mulai didentumkan. Tuntutan menjadi juara dan pluit kompetisi
semakin sering terdengar di telinga si anak. Enam tahun kemudian, orang tua
mewanti-wanti agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh, itu semua beralasan
untuk masa depan si anak, supaya mudah masuk kejenjang sekolah selanjutnya.


Sang anak sekarang mulai memasuki medan persaingan baru, teman-temannya juga
baru. Aneka jenis pertandingan yang mesti dia menangkanpun, berbeda dengan masa
di Sekolah Dasar dulu. Namun ada satu yang tetap sama, juara kelas. Sehingga,
untuk mendapatkan itu, sang anak dibawa lari oleh tuntutan mengikuti pelajaran
tambahan setelah selesai sekolah. Ada yang ikutan bimbingan belajar, adapula
yang guru pengajar diundang kerumah, bagi orang tua yang mampu.


Berapa tahun berlalu, tanpa disadari, tiba-tiba sudah berhadapan lagi dengan
Ujian Nasional. Tingkat kosentrasi yang berujung stresspun mulai menyapa,
karena berbagai harapan dan gambaran-gambaran ketakutan dihadapkan kepadanya.


Setelah lulus, sang Anak mulai dilanjutkan lagi ke jenjang Sekolah Menengah
Atas. Dia mulai merasakan suatu emosi yang terus bergejolak meledak-meledak
dalam dirinya, dia tidak tau perasaan apa itu. Perasaan itu khusus hadir saat
mendengar, melihat dan berdekatan dengan lawan jenisnya. Ia mengabaikannya,
karena teringat kembali dengan program ”Belajar yang rajin,
belajar..belajar..belajar agar jadi juara” yang ditanamkan oleh orang tuanya.


Tiga tahun belalu, kehidupan sianak hanya dipenuhi dengan belajar-belajar dan
belajar. Ia terus berlari-berlari dengan sang target. Sekarang sang anak
memasuki dunia kompetisi baru lagi, namun lebih fleksible. Karena tempat baru
ini, mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam mengambil tindakannya. Kompetisi
di arena Perguruan Tinggi.


Karena si anak sudah terlatih semenjak kecil, yang sudah habitut baginya,
belajar-belajar dan terus belajar, sehingga ia agak berbeda dengan
teman-temannya yang lain. Teman-temannya tidak semuanya sibuk seperti dia. Ada
ikut kegiatan menyanyi dan menari, olah raga, jurnalistik, lembaga dakwah
kampus, bisnis dll. Sementara sang Anak yang sudah dewasa itu, aktivitasnya
adalah rumah, kampus dan perpustakaan.


Akhirnya ia lulus dengan nilai terbaik sebagai sang juara diangkatannya,
Cumlaude. Kehidupan belum berakhir, malah seakan-akan semakin dimulai. Setelah
lulus, Ia pun melamar pekerjaan. Alhamdulillah dia diterima ditempat kerja yang
bonafide, sekaligus arena perlombaan dan kompetisi baru baginya. Di arena ini
tidak kalah menarik dari ring-ring kompetisi yang telah ia menangkan. Seperti,
setiap hari senin, meeting mingguan sebagai progres pekerjaan yang telah
dilakukan bersama team dan bosnya. Telinga nya tidak pernah luput mendengar
kata-kata target...target...target... dari atasannya.


Target demi target ia lampaui. Suatu hari saat pulang kerumah bertemu orang
tuanya. Ia mendengar pertanyaan, ”Kapan kamu menikah?” pertanyaan itupun
menambah target baru dalam hidupnya. Ia pun mencari dan mencari serta
mencocokkan antara kriterianya dan juga masuk kriteria orang tuanya.


Setelah pencarian berlangsung, dia menemukan pedamping hidupnya. Pernikahan pun
berlangsung. Sementara di arena kerja, di kantor dia terus mengejar target
untuk menaiki jenjang lebih tinggi. Menjadi Manager, Kepala Cabang hingga
menjadi Direktur. Seiring waktu, tuntutan keluarganya pun semakin bertambah
berbarengan tingginya karir yang ia naiki.


Rasa Penyesalan
Sampai suatu ketika, ia duduk disamping sebuah jendela. Melihat kebawah, ada
anak-anak yang sedang bermain di taman. Mereka bermain sungguh sangat
mengasyikan penuh riang gembira. Muncul pertanyaan dalam dirinya ”Kapan aku akan
seperti itu?”.


Ditaman itu ada jalan kecil setapak terbuat dari beton. Di atas jalan tersebut,
ia melihat ada lelaki sedang mendorong kereta bayi bersama istrinya sambil
mengendong anak mereka. Lagi-lagi ia bertanya dalam dirinya ”Kapan aku akan
seperti itu?”.


Dari jendela itupun ia melihat, ada kursi terbuat dari besi. Di kursi tersebut
ada seorang kakek dan nenek seusianya, duduk mesra dihampiri oleh anak-anak dan
cucunya. Sekali lagi ia bertanya ”Kapan aku seperti itu?”.


Dengan wajah penuh kesedihan. Tiba-tiba ia sadar, sekarang sedang berada di
panti jombo. Istrinya sudah lebih dahulu meninggalkan arena perlombaan
(meninggal). Diapun tidak tau, dimana anak-anaknya berada dan dimana mereka
tinggal. Kemudian, tanpa kuasa dia menahan, air mata mengalir membasahi pipinya.
Air mata penyesalan.Karena ia sadar, seharusnya pertanyaan tadi tidak ia
tanyakan. Sebab ia sudah melampauinya semua. Namun, tidak pernah dia luangkan
waktu untuk menikmatinya. Akhirnya, ia berujar kepada dirinya sendiri ”Izinkan
aku istirahat sejenak”. Dia pun menutup mata dan beristirahat selamanya, dalam
jiwa penuh penyesalan.


Ciganjur, 3 Maret 2011
Oleh: Rahmadsyah Mind-Therapist <rahmad.aceh@yahoo.com>
 

Tidak ada komentar: