oleh: Agung Nurwijoyo Koordinator Hubungan Luar SALAM UI
Relativitas “Hussein” dalam Kebijakan Obama
Sebentuk masa yang bersejarah dalam pola diplomasi yang dilakukan oleh adminsitratif Obama. Pola yang unik coba ditunjukkan. Pasca inagurasi, pemerintahan bergerak dengan terlebih dahulu mencoba merubah paradigma ancaman menjadi peluang. Pihak yang dirasa merupakan ancaman bagi AS justru coba dirangkul. Pemilihan China, Indonesia, dan Korea sebagai tiga negara awal yang dikunjungi AS sangatlah menarik.
Indonesia meskipun bukan negara Islam tetapi status sebagai negara berpenduduk Islam terbesar menjadikan Indonesia negara dengan labelisasi Islam pertama yang dikunjungi AS. Dikatakan pula dalam kunjungan tersebut yang menandaskan Indonesia sebagai mitra AS dalam menjalin hubungan antara Islam dan barat.
Negara lain dengan kekentalan Islam yang cukup kuat ialah Turki. Di masa Erdogan memegang pemerintahan, kunjungan Obama ke Turki pun dengan tetap membawa agenda salah satunya menjadikan Turki sebagai mitra AS dalam menjadi penghubung antara Islam dan Barat. Hal ini sangat menarik dikarenakan Turki dipilih AS meskipun selama puluhan tahun Turki pun berubah menjadi negara sekuler versi Turki dan kini justru dianggap mampu menjadi mitra AS menghubungkan kutub peradaban dunia yakni Islam dan Barat.
Pada 4 Juni 2009, lawatan pun dilakukan oleh Obama terhadap negara pusat kebudayaan dan Pendidikan dunia di beberapa dekade lampau yakni Mesir. Lawatan dilakukan Obama di Universitas Kairo, Mesir. Kunjungan yang dimaksudkan sebagai bentuk membangun kembali harmonisasi hubungan antara Islam dan Barat. Setidaknya jalan panjang meraih harmonisasi hubungan antara Islam dan Barat dipaparkan Obama melalui empat konsentrasi isu. Pertama, masalah keberadaan ekstrimis seperti yang terjadi di Afghanistan dalam kelompok Al Qaidah. Kedua, masalah Israel dan Palestina. Ketiga, masalah Nuklir Iran. Keempat, masalah demokrasi.
Dari keempat poin tersebut melihat perkembangannya, isu Israel merupakan satu kasus yang terkadang multitafsir dalam perjalanannya. Dikatakan multitafsir dikarenakan banyak faktor yang bermain di dalamnya. Relativitas dengan masalah latar belakang sejarah yang beragam sehingga banyak klaim yang dibangun. Apa yang dicapai pada masa sekarang merupakan sebentuk realitas yang telah dibangun di masa lalu.
Obama mengangkat relasi Islam dan sejarah AS sangatlah kuat. Dari faktor kehidupan di masa kecil Obama yang dekat dengan lingkungan Islam hingga naik dalam tingkatan kehidupan bernegara AS dimana negara Maroko sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan AS merupakan negara Islam. Hal ini yang sedikitnya Obama ingin tunjukkan akan harmonisasi hubungan antara AS dan Islam yang sangat mungkin diwujudkan. Hal ini pula sebuah politik pembangunan citra melalui “Smart Power” dijalankan. Setidaknya meminimalisasi aspek penggunaan senjata sebagai implementasi kebijakan luar negeri. Dengan politik seperti ini sebenarnya tetap dijalani dengan pola pivotal state dimana merupakan upaya menegakkan demokrasi. Gaya demokrasi AS dikehendaki untuk tersebar di seluruh penjuru dunia dan AS hanya perlu untuk menanamkan konsep demokrasinya di sejumlah negara.
AS di bawah Obama yang berusaha merangkul mereka yang dianggap sebagai ancaman dijalankan berbagai cara. Nama “Hussein” sebagai nama tengah Obama dijalankan Obama sebagai satu senjata yang cukup ampuh dalam menciptakan nuansa baru di dunia. Namun, kadang masih banyak yang tertipu pada kemasan karena tidak memahami isi.
Obama, Israel dan Palestina
Amerika Serikat (AS) merupakan negara pertama yang mendeklarasikan diri mengakui kemerdekaan Israel. Hal ini terjadi pada 14 Mei 1948 dimana Israel menyatakan kemerdekaannya dalam kerangka sebuah negara Yahudi (Jewish State). Pemerintahan AS pada masa itu berada di bawah komando Presiden Harry S Truman. Menarik melihat respon Washington yang notabene secara geografis jauh dari Israel tetapi menjadi pihak pertama yang memberikan pengakuan.
Dukungan yang diberikan oleh Truman terhadap kemerdekaan negara Yahudi sudah ditandai jauh sebelum Israel menyatakan kemerdekaannya. Sinyalemen pengakuan yang terlebih dahulu hadir saat dunia pun tidak melihat pretensi posisi Israel di kawasan Timur Tengah. Di bulan Mei 1939, berdasarkan Buku Putih yang dikeluarkan Kerajaan Inggris pada tahun 1939 tepatnya 25 Mei mengenai pembatasan imigran Yahudi dalam satu wilayah, Truman memberikan pernyataan dalam Kongres AS yang intinya memberikan tanggapan terhadap apa yang dilakukan oleh Inggris. Truman, yang pada masa 1944 menjadi senator, mengatakan ,” Hari ini, bukan besok, kita harus melakukan berbagai tindakan kemanusiaan dengan menyediakan “surga” bagi orang-orang yang terbuang oleh Nazi. Sebuah tanah harus terbuka bagi mereka.” Bahkan, Truman menulis dalam memoarnya, “Pertanyaan bahwa Palestina sebagai tanah Yahudi harus dikembalikan kepada janji bahwa [tanah itu] telah disediakan bagi tanah itu [Yahudi] oleh Inggris dalam Deklarasi Balfour tahun 1917...”
Hal yang seringkali diangkat adalah AS meminta dunia Islam memahami posisi Negara Yahudi ini yang berada dalam posisi tertindas dengan adanya momentum Holocaust. Walaupun masih dalam kondisi yang menimbulkan pro-kontra kebenaran Holocaust, isu ini cukup ampuh dalam masalah pembelaan diri dan penggalangan kekuatan yang tidak hanya strategis dan konstruktif tetapi kepada bentuk kerjasama permanen antara Israel dan AS.
Seakan tindakan Israel adalah bentuk pembenaran atas apa yang menimpa mereka sehingga faktor romantisme hubungan AS dan Israel tidak dapat dielakkan bahkan dari awal berdirinya negara Yahudi tersebut. Politik yang seringkali dijalankan adalah implementasi pre-empive strike dengan memukul terlebih dahulu pihak yang baru saja dirasa ingin memukul.
Realitas menark dari masalah ini adalah melihat apa yang terjadi di saat Perang Gaza 2009. ada dua fase yang menunjukkan harmonisasi hubungan antara AS dan Israel. Fase pertama adalah fase ekskalasi. Pada fase pertama ini, konflik pecah saat berakhirnya gencatan senjata pada 19 Desember 2008 dan di saat ini antara Israel dan Palestina sudah dalam kondisi siap perang dilihat dari aktivitas kedua belah pihak di masa menjelang 19 Desember 2008. dimasa itu AS masih berada di bawah administratif Bush Jr. Bush memberikan legitimasi akan sahnya serangan Israel ke Gaza sebagai bentuk pembelaan diri Israel atas klaim serangan roket HAMAS meskipun realitasnya selama gencatan senjata Israel tetap secara konsisten melakukan serangan terhadap sipil Palestina baik di Tepi Barat maupun Gaza.
Fase kedua adalah fase deekskalasi. Fase ini dimulai saat Obama menyambangi Israel dan Obama menjalani inagurasi sebagai Presiden AS. Hal ini yang memberikan kesan AS sebagai mediator antara Israel dan Palestina. Padahal, realitas sejarah seperti Madrid Conference, Oslo Conference, hingga Annapolis selalu menempatkan AS sebagai mediator tetapi nyatanya bahwa fase tersebut tidak lepas hanya sekedar menimbulkan negative peace dan tidak menimbulkan positive peace. Semuanya kembali kepada faktor power yang dimiliki AS yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan AS. Inilah fase deekskalasi isu Palestina-Israel.
Kemerdekaan yang dicapai Israel 61 tahun lalu yang seolah menunjukkan 61 tahun komitmen terhadap pengahancuran kawasan pemukiman dan wilayah. 61 tahun penolakan AS bahwa tindakan Israel adalah tindakan kriminal. 61 tahun komitmen Israel terhadap pemusnahan etnis. Entah mungkin ini jalan panjang bentuk pembelaan diri Israel yang dikemas dengan kekejaman kemanusiaan.
Relativitas manuver AS ini harus segera dipandang bukan sekedar angin yang memberikan kesejukan bagi perdamaian dunia. Setidaknya terciptanya romantisme hubungan AS-Israel merupakan entitas yang tidak dapat tertolak dengan pola hubungan mereka yang bersifat permanent partnership dan tidak sekedar strategic atau cooperative partnership.
Data Penulis
Nama: Agung Nurwijoyo
TTL: Ambon, 2 Desember 1988
Alamat: Komp. Bukit Cengkeh Berbungan Blok A.4/4 Kelapa Dua Depok
Pekerjaan: Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Organisasi: Koordinator Bidang Hubungan Luar SALAM UI
Telp: 02170725857
E-mail: noor.yilderim@yahoo.com