Rabu, 13 Juli 2011
membeli hutan dengan koin
Anda mungkin masih ingat film 'Avatar' karya sutradara James Cameron. Dalam film itu, komunitas lokal Na 'vi terpaksa terusir dari tanah yang sudah mereka huni selama turun-temurun oleh upaya militer hanya karena pertambangan mineral berharga di tanah tersebut. Seni mengimitasi kehidupan, karena premis film tersebut sudah menjadi kenyataan yang terjadi berulang kali di berbagai wilayah di Indonesia.
Sudah banyak cerita akan konflik lahan hutan adat dengan izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan besar (tambang, pengolahan kayu, industri kertas, industri kelapa sawit).
Menurut Ketua Unit Kerja Presiden Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto di Lombok (12/7), konflik lahan dan hutan yang banyak terjadi sekarang adalah hasil dari tumpang tindih yurisdiksi antara berbagai kantor pemerintahan.
Ia mencontohkan, di Kalimantan Tengah, ada 4 juta hektar lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan (Forest Estate) ternyata oleh Badan Pertanahan Nasional diberikan sertifikat kepemilikannya ke masyarakat adat.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga memberikan izin pengelolaan kawasan hutan (forest estate) yang bertabrakan dengan izin penggunaan hutan yang sudah diberikan oleh Kementerian Kehutanan. Dalam kasus ini, setidaknya ada 560 ribu hektar lahan yang tersengketakan.
Konflik lahan hutan antara komunitas adat dan perusahaan besar pun terjadi menahun. Seperti yang disampikan Kuntoro, terjadi di komunitas Pangean, Kuantan Singingi, Riau. Sudah sejak 1999, mereka berebut lahan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk lahan seluas 583 hektar.
Di Lubuk Jering, Riau, pun terjadi hal serupa. Sejak 2006, penduduk di desa tersebut berkonflik dengan produsen pulp dan kertas akan lahan seluas 1627 hektar. Selain itu, ada juga 17 desa di Kampar, Riau, yang kini berkonflik dengan setidaknya enam perusahaan besar.
Ini baru beberapa contoh konflik lahan dan hutan yang terjadi di Indonesia. Menurut Kuntoro, setidaknya ada 30 ribu desa yang berlokasi di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Hidup dan pemasukan mereka sehari-hari bergantung pada hasil hutan, dan kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan. Namun bagaimana mereka bisa mensejahterakan diri bila akses mereka masuk ke hutan malah dibatasi?
Konflik-konflik lahan seperti ini sering berujung pada penyanderaan, bahkan kematian dari masyarakat adat yang menolak menyerahkan lahan.
Sebenarnya, dalam catatan Rights and Resources Initiative--koalisi global atas organisasi yang mendorong reformasi pengelolaan hutan dan kebijakan--ada tren meningkat di seluruh dunia akan masyarakat-masyarakat adat dalam mengelola hutan.
Sayangnya, Indonesia menjadi keanehan tersendiri dalam tren positif ini. Di negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, India dan Vietnam, kawasan hutan mereka yang luas sudah mulai kembali ke masyarakat adat. Dengan program ini pun, negara-negara tersebut berhasil memulihkan kondisi hutannya.
Sementara, meski Indonesia mengakui ada 30 ribu desa di sekitar kawasan hutan, komunitas adat memiliki hak untuk hanya kurang dari 1 persen hutan nasional. Bandingkan dengan Cina yang masyarakat adatnya memiliki hak sampai 58% dari hutan nasional.
Samdhana Institute yang berbasis di Bogor mencatat, awalnya pemerintah Indonesia menyediakan 0,6 juta hektar lahan untuk masyarakat adat pada 2002. Lalu, pada 2008, jatah itu justru turun menjadi 0,23 juta hektar. Bahkan pada 2010, hanya 100 ribu hektar lahan diberikan pada pengolaan masyarakat adat, jauh dari target 500 ribu hektar per tahun.
Peneliti buat Trevaylor Consulting, Dominic Elson, menilai Indonesia masih terlalu berpikir sempit dengan memberi hak-hak istimewa pada industri kayu gelondongan dan pengubahan hutan menjadi area kelapa sawit. Hutan alam selalu dibuat tersedia untuk industri yang membayar sangat murah untuk nilai ekonominya, sementara masyarakat adat terus-terusan diabaikan. Jadi keuntungan yang didapat pemerintah dari industri kayu dan kelapa sawit masih sangat rendah dari yang sebenarnya bisa dihasilkan jika hutan dikelola dengan benar.
"Ada banyak bukti bahwa komunitas adat adalah pengelola sumber daya alam yang bisa diandalkan, tapi entah kenapa pemerintah Indonesia masih belum mau menganggap mereka serius," kata Elson.
Kuntoro mengakui semua ini terjadi. "Ini bukanlah hasil kerja satu institusi saja atau sesuatu yang terjadi dalam semalam," kata dia. Komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada 2020, menurut Kuntoro, adalah sebuah kesempatan untuk mengurai keruwetan pengelolaan hutan selama ini. Sektor hutan dan lahan gambut menyumbang lebih dari 60% pada emisi karbon nasional.
Maka itu, Kuntoro mentargetkan satu peta nasional yang akan menjadi rujukan berbagai institusi pemerintahan nasional yang berbeda dalam mengambil keputusan. Berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, dianjurkan untuk berpartisipasi dalam proses ini. Inilah kesempatan mereka didengar dalam pengambilan keputusan soal hutan.
Selain itu, ia juga mengajukan solusi percepatan pengukuhan batas-batas kawasan hutan di Indonesia yang berdasarkan atas partisipasi masyarakat adat. Semua pengelolaan hutan, idealnya, baru bisa berjalan setelah pemetaan ini selesai. Semua ini terdengar indah dalam kata-kata. Maka kata Kuntoro, "Yang terpenting adalah apa yang terjadi di lapangan."
http://id.berita.yahoo.com/hutan-yang-masih-dihargai-murah.html
Labels:
greenpeace,
hutan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar