Kamis, 29 Desember 2011

Mengintip Sepak terjang Jamkesmas untuk Pasien Miskin (2)


Realita Jamkesmas di Masyarakat




Awal munculnya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah pada tahun 2004 oleh Departemen Kesehatan. Program ini bertujuan untuk mengatasi masalah biaya kesehatan bagi warga miskin. Jamkesmas sendiri memiliki sasaran sekitar 76 juta warga miskin, dengan anggaran lebih dari 5 triliun rupiah pada tahun 2010. Untuk memperoleh fasilitas tersebut, warga miskin diberi semacam tanda bahwa mereka layak mendapatkan fasilitas pengobatan gratis dengan kartu berobat gratis.

Peran kartu berobat sendiri sesungguhnya adalah untuk memudahkan rakyat miskin atau tidak mampu membayar biaya kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa pungutan biaya apapun. Kartu berobat gratis sebenarnya dapat digunakan tanpa harus menunjukkan KTP atau rujukan pihak rumah sakit atau puskesmas. Di beberapa daerah, keberadaan  Jamkesmas telah membantu warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Salah satu contoh realisasi pelayanan Jamkesmas yaitu di Kelurahan Namosain, Kecamatan Alak, Kota Kupang yang rata-rata warganya berprofesi sebagai nelayan dan buruh pelabuhan. Dengan penghasilan yang diperoleh para nelayan dan buruh pelabuhan yang sangat pas-pasan untuk menghidupi keluarganya, Jamkesmas membantu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa harus memberikan biaya pengobatan.

Namun, tampaknya sistem Jamkesmas ini belum berfungsi dengan baik. Banyak rumah sakit yang menolak untuk memberikan layanan kesehatan gratis, meskipun para rakyat miskin telah menunjukkan kartu berobat gratis milik mereka. Pihak rumah sakit menolak untuk memberikan layanan kesehatan gratis. Setiap rumah sakit yang melakukan penolakan tersebut mempunyai alasan yang beragam. Pasalnya, mayoritas rumah sakit tersebut beralasan bahwa pemerintah tidak tuntas dalam melakukan subsidi atau pembayaran terhadap rumah sakit terkait sehingga hutang pemerintah terhadap rumah sakit semakin menumpuk. Jika melihat dari sudut pandang yang objektif, dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan rumah sakit tidak concern terhadap permasalahn pasien miskin.

Pemerintah sebagai pemimpin yang pada hakikatnya mengayomi masyarakat seharusnya memberikan anggaran yang cukup untuk menyubsidi pasien miskin sehingga tidak perlu lagi berhutang pada rumah sakit. Persentasi  anggaran pendapatan negara maupun daerah untuk kesehatan dan pendidikan setidaknya sedikit lebih besar dibandingkan anggaran lain. Disisi lain, dengan sikap dan pernyataan rumah sakit tersebut, jelas menjadi tanda bahwa rumah sakit itu mempunyai kepedulian sosial yang rendah. Orientasi terbesarnya adalah mencari pemasukan dan keuntungan. Tidak dapat  dipungkiri, untuk mendukung kualitas dunia kesehatan diperlukan instrumen yang lengkap dan baik ditambah tenaga kesehatan yang profesional. Tentunya untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit juga. Akan tetapi, sebuta itukah dengan pencapaian profesional hingga mengesampingkan masalah sosial yang sebetulnya sangat penting?

Di Kudus Jawa Tengah, keberadaan Jamkesmas dinilai belum sesuai sasaran yang tepat bagi masyarakat yang berhak menerima karena belum adanya database yang akurat. Selain itu, di Solok Sumatra Barat keberadaan pelayanan kesehatan untuk warga yang kurang mampu, yaitu terkait dengan keberadaan Jamkesmas, masih memprihatinkan. Tidak jarang masalah kelengkapan status administrasi  terkait Jamkesmas masih dipertanyakan pada  saat kondisi kesehatan mereka sebetulnya telah kritis. Masalah pembayaran pengambilan obat juga terjadi di wilayah ini. Sebelumnya warga yang kurang mampu diharuskan untuk membayar separuh dari biaya pengambilan obat tersebut, tetapi setelah adanya pembicaraan antara salah seorang anggota DPRD Kabupaten Solok, dengan pihak  terkait, akhirnya pembayaran pengambilan obat pun dibebaskan.  


Ada juga permasalahan lain, yaitu kartu berobat gratis yang tidak teralokasikan dengan benar. Hal itu menyebabkan banyaknya warga miskin yang mendesak pemerintah setempat untuk memberikan kartu berobat gratis, walaupun pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka telah memberikan kartu berobat gratis pada warga miskin. Hal itu mungkin terjadi karena adanya ketidaksesuaian dalam kriteria warga miskin versi Biro Pusat Statistik (BPS). Ada yang mengatakan bahwa kriteria warga miskin versi BPS tidak sesuai dengan fakta konkret lapangan. 14 kriteria miskin menurut BPS itu sendiri adalah:
  1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
  2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan
  3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester
  4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain
  5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
  6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan
  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
  8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
  9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari
  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik
  12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
  13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/ hanya SD
  14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Para warga miskin mengaku bahwa keempat belas kriteria tersebut sudah tidak relevan dan tidak sesuai dengan realitas kemiskinan yang ada pada saat ini.
Jika kita lihat pada poin-poin kriteria miskin diatas, dapat disimpulkan bahwa warga yang berhak mendapatkan kriteria miskin adalah warga yang benar-benar “miskin.” Seperti pada poin nomor 8 yang dikatakan bahwa hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu. Namun kenyataannya banyak warga miskin yang mampu mengkonsumsi makanan-makanan tersebut, namun tetap layak untuk mendapatkan predikat miskin. Dan pada poin nomor 13, disebutkan bahwa pendidikan tertinggi kepala rumah tangga maksimal hanya lulusan SD. Lalu bagaimana dengan kepala keluarga yang berpendidikan di atas SD, namun memenuhi 13 kriteria lain? 




sumber:

Bataviase.“70 Persen Pasien Miskin Keluhkan Layanan RS.”


Bimeks. “Pelayanan Jamkesmas Dikeluhkan Pasien.” Sumbawa News. http://www.sumbawanews.com/berita/daerah/pelayanan-jamkesmas-dikeluhkan-pasien.html (16 Jun, 2011)

Setiono, Deni A. “Pelayanan KSK dan Jamkesda di Gresik Dikeluhkan.” Berita Jatim. http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2011-05-10/100401/_Pelayanan_KSK_dan_Jamkesda_di_Gresik_Dikeluhkan (16 Jun, 2011)

Molan, Laurensius. “Rumah Sakit Untuk Orang Miskin.” Format News. http://www.formatnews.com/?act=view&newsid=1971&cat=57 (16 Jun, 2011)

Mohari, Henky. “RSUD Tanjungpinang Diminta Tingkatkan Layanan Jamkesda.” Antara News. http://kepri.antaranews.com/berita/16803/rsud-tanjungpinang-diminta-tingkatkan-layanan-jamkesda (16 Jun, 2011)


http://infopetadaerah.blogspot.com/2010/07/ada-14-kriteria-yang-dipergunakan-untuk.html - 14 kriteria masyarakat miskin menurut standar BPS  (29 juni 2011)

http://bppkbtanjabtim-kadafi.blogspot.com/-UU DAN MENKES BARU: KADO HARI KESEHATAN NASIONAL-Oleh: Hendriyanto,S,IP, M.Kes-rabu, 11 november 2009

 

KG/J. “Rumah sakit Tidak Boleh Tolak Pasien.” Media Indonesia, 23 Mei. 2011, 11.

Kartu Berobat Gratis di Bekasi Diduga Banyak Salah Sasaran. 15/06/2010http://www.pikiran-rakyat.com/node/115931 


http://regional.kompasiana.com/2010/07/28/menggendong-mayat-anaknya-karena-tak-mampu-sewa-mobil-jenazah/ Ayah Menggendong Mayat Anaknya Karena Tak Mampu Sewa Mobil Jenazah 28/07/2010

Tidak ada komentar: